Paradoks Identitas ala Muse dan Radiohead

“I think no artist can claim to have any access to the truth, or an authentic version of an event. But obviously they have slightly better means at their disposal because they have their art to energize whatever it is they’re trying to write about. They have music.”
– Thom Yorke

Dalam menyikapi perkembangan musik, kemajuan dianggap sebagai berhala.

Evolusi budaya seperti sebuah keniscayaan yang tidak disangkal lagi. Pada satu masa, semua orang entah mendengarkan musik klasik yang dikomposisi para komponis tenar dan ditampilkan di gedung konser atau gereja, atau mendengarkan musik rakyat yang dimainkan di pesta para proletar atau bar-bar kumuh dan penuh penyakit di pinggiran kota. Namun masa tersebut telah hilang. Waktu berjalan beberapa ratus tahun, dan musisi rock and roll merajai radio dan televisi, memberi generasi muda sebuah idola baru. Semua gadis ingin mengencaninya, semua pria ingin menjadi dia – afirmasi klasik seorang ikon jaman. Musik tidak terlepas dari evolusi budaya seperti ini. Beethoven diganti Armstrong, Elvis diganti Cobain, Jackson diganti Bieber. Waktu berjalan, manusia berubah, dunia berubah, politik berubah, pemikiran berubah, dan musik berubah mengikutinya. Musik berjalan mengiringi perubahan sosial di dunia, dan karena itu tidak pernah berhenti pada satu tempat.

Perubahan ini dihadapi dengan ambivalensi oleh massa. Beberapa orang dengan lapang dada menerima hilangnya hari-hari grunge dan pergantiannya oleh hegemoni musik dance-pop dengan amalgamasi R n B serta Hip-Hop yang keluar bagai conveyor belt dari Amerika Serikat, menganggapnya sebagai konsekuensi alami dari perkembangan musik yang akhirnya mengganti progressive rock dengan punk – katakanlah. Saya adalah salah satu dari orang seperti itu. Ada yang menangisi perubahan sosial ini; dengan meme photoshop amatir buatan mereka memenuhi situs-situs komedi dunia maya… membanding-bandingkan musik ‘masa kini’ yang dianggap “murahan” atau, secara gamblang, “jelek” dengan musik ‘masa lalu’ yang dianggap “lebih bagus” atau “lebih nyata”. Saya mengutip seorang pengguna 9gag yang, taktala membandingkan Justin Bieber dengan Led Zeppelin, berujar bahwa “…setidaknya Led Zeppelin memainkan alat musiknya sendiri.” Merindukan kejayaan masa lalu, dan menangisi perkembangan masa depan yang, setidaknya dalam perspektif mereka, lebih pantas disebut sebagai sebuah devolusi.

Namun tetap menarik melihat satu kata yang selalu muncul. ‘Kreativitas’. Musik masa kini, tergantung sumber mana yang anda rujuk, acap kali dianggap sebagai ‘kekurangan kreativitas’, ‘sama saja dengan satu sama lain’, ‘generik’, ‘termanufaktur’, atau ‘sampah’. Tidak ada musisi masa kini, nampaknya, yang berani merambah ranah baru dalam musik, memecah kebuntuan kreativitas yang kini menguasai MTV dan media massa lainnya yang mereka anggap lebih fokus menayangkan acara realita murahan guna mengeruk fulus daripada menayangkan ‘musik sesungguhnya’. Mereka-mereka ini, yang kerap disebut dengan berbagai nama (hipster oleh beberapa orang, penikmat musik ‘nyata’ oleh mereka sendiri, dan ‘asshole’ untuk orang kebanyakan), menginginkan kreativitas dan dobrakan baru dalam musik. Namun saya rasa, ini menimbulkan paradoks tersendiri. Teori saya pribadi adalah bahwa kreativitas absolut, dalam konteks kreativitas yang berani dan tak memedulikan batas konsepsi arus utama dan terlepas dari keterbatasannya yang sempat saya eksplorasi di ‘Musik Sebagai Pemikiran Yang Tak Bisa Dipertahankan, mustahil ada selama kita masih mempertahankan cara pikir sekarang ini. Satu-satunya solusi, sesungguhnya, adalah untuk ‘membunuh sang rockstar’, dalam artian metafora.

Izinkan saya menjelaskannya lebih lanjut. Beberapa hari lalu, saya mengobrol dengan kedua teman baik saya – keduanya dosen di salah satu universitas di Jakarta – mengenai identitas. Topik pembicaraan kita merembet dari politik ke isu sosial dan menuju isu gender dan seksualitas. Salah satu teman saya ini menyebutkan sebuah kasus unik di Malaysia di mana salah seorang Menteri di Malaysia menerbitkan ‘buku panduan’ mengenai ciri-ciri seorang gay. Seseorang yang gay, menurut buku panduan nyeleneh tersebut, bisa dilihat dari ciri-ciri yang sepele seperti memakai baju kerah V-neck, tampak feminim, dan hal-hal lainnya yang menunjukkan betapa dangkalnya pengetahuan mereka mengenai isu LGBTIQ. Nyatanya tidak seperti itu. Seseorang yang gay bisa saja tampil ‘laki’ dan berpembawaan maskulin. Seseorang yang heteroseksual bisa saja tampil ‘metroseksual’ dan berpembawaan feminim atau androgini – saya mengenal secara pribadi beberapa orang yang dengan nyaman melemah lembutkan suaranya dan mengenal kosmetik lebih dalam daripada rata-rata gadis remaja resah Ibu Kota. Seseorang yang berpikiran dangkal bisa saja mengira, “Ah, dia gay.” Namun tidak. Dia memiliki pacar perempuan, hubungan mereka baik-baik saja, dan dia tidak memiliki ketertarikan pada laki-laki. Bagi beberapa orang, ini adalah anomali tersendiri.

“Namun memang begitu adanya,” kata teman saya ini. “Mereka tidak melihat ‘gay’ sebagai satu keadaan atau istilah saja. Mereka melihat ‘gay’ sebagai satu identitas tersendiri. ‘Oh, orang yang gay itu pasti kemayu, pasti lembeng, pasti baju V-neck’. Padahal belum tentu! Seorang pria gay itu suka pada sesama lelaki, tidak lebih. Bagaimana pembawaannya itu relatif. Tapi kita selalu menstereotipkan. Kita menyematkan identitas pada satu istilah.”

Saya mendadak teringat pengalaman saya dulu saat mengobrol dengan kawan-kawan atheis yang berseliweran di dunia maya. Dalam satu konfrontasi awal, saya menghadapi seorang atheis yang menurut saya luar biasa menyebalkan. Sepanjang perdebatan tersebut, dia hanya menggunakan ad hominem, menyerang secara pribadi, dan menggunakan pembahasaan yang menurut saya barbar. Jujur saja, saya heran. Seingat saya, seorang atheis itu biasanya menjunjung tinggi argumentasi sehat, perdebatan berbasis referensi dan rujukan ilmiah, dan kemampuan berkomunikasi yang berpendidikan dan berkepala dingin. Dalam pikiran saya kala itu, perwujudan seorang atheis adalah seorang ilmuwan atau akademisi – yang bertukar pendapat secara dingin dan mengandalkan referensi ilmiah serta jargon intelektual.

Hingga kini, saya masih ingat kata-kata seorang atheis yang menjelaskan pada saya, “Raka, cara memandangmu salah. Ini A-theisme, bukan Atheis-me. Kita tidak punya code of conduct atau peraturan tata cara bersikap. Seorang atheis itu tidak percaya adanya Tuhan; titik. Apa pandangan politiknya – konservatif atau progresif, apa cara berdebatnya – intelektual atau kampungan, semuanya relatif. Semuanya tergantung masing-masing individu. Pokoknya, ada satu hal yang menyamakan kami – kami tidak percaya Tuhan.” Itulah yang telah saya lakukan. Saya telah jatuh pada kesalahan yang sama dengan Menteri asal Malaysia yang dengan tololnya menstereotipkan gay. Saya telah menyematkan identitas pada sebuah istilah.

Pertanyaannya adalah; apakah hal yang sama berlaku untuk musik?

 

 

Saya masih ingat bagaimana saya luar biasa kaget saat mendengar Kid A karya Radiohead. ‘Apa-apaan ini?’, begitu saya bilang dulu. Ketika itu saya belum mendengar lagu apapun karya mereka selain Paranoid Android dan Creep, serta potongan There There yang saya dengarkan di radio. Sungguh sensasi yang sama sekali berbeda. Sungguh perubahan suara yang ekstrim. Sandingkan distorsi rock di Creep dengan elektronika Idioteque. Mungkin jika suara Thom Yorke tak menggaung di kedua lagu tersebut, anda tak akan mengira bahwa kedua lagu tersebut lahir dari band yang sama. Fakta tersebut semakin luar biasa saat kita memfaktorkan fakta bahwa tidak terjadi perubahan anggota sama sekali dalam tubuh Radiohead, dari awal dia berdiri hingga kini. Terjadinya perubahan sound yang besar dalam band yang kehilangan hampir semua personilnya, katakanlah, adalah masuk akal. Namun Radiohead tidak seperti itu.

Radiohead, faktanya adalah sebuah band dengan dua gitaris resmi. Bahkan vokalis Thom Yorke juga memiliki kemampuan mumpuni dalam menyandang sang 6 string. Johnny Greenwood tenar sebagai salah satu gitaris terbaik di generasinya. Namun album Kid A adalah sebuah pergeseran elektronika eksperimental di mana kita menemukan Johnny Greenwood memainkan Ondes Martenot dan suara Thom Yorke dimanipulasi secara elektronik. Hampir tak ada gitar sedikitpun sepanjang album. Rasanya seperti melihat seorang Osama Bin Laden berjabatan tangan dengan Presiden Amerika Serikat dan memakai baju bertuliskan ‘We Love America!’. Sebuah pengkhianatan identitas kelas wahid. Sebuah keberanian dan dobrakan besar yang mengejutkan. Banyak orang, salah satunya majalah Rolling Stone, menyebut Kid A sebagai salah satu album terbaik sepanjang masa. Saya tidak peduli mengenai kualitas musiknya – walaupun belakangan ini saya mengerti dan menyadari kualitas Kid A sebagai album musik. Ketika itu saya terlalu sibuk menjadi orang yang kaget. Mana band rock yang memainkan grunge karbitan di Pablo Honey? Mana musikus edan yang menggebrak dunia dengan The Bends dan Fake Plastic Trees yang, hingga kini, saya anggap sebagai salah satu lagu favorit? Mana calon Pink Floyd baru yang memberikan kegilaan rock di album OK Computer? Siapa yang akan menduga perkembangan ini? Radiohead, sang band rock, sang pahlawan gitar, calon rockstar abad 21, menyongsong pergantian milenium dengan membuang identitas tersebut. Mereka telah membunuh konsepsi Radiohead sebagai rockstar lazim.

Namun ketika The King of Limbs dirilis dan saya melihat video klip konvulsif ‘Lotus Flower’ di salah satu stasiun televisi swasta regional, saya menemukan diri saya tak terkejut. Mendengarkan lagu dengan beat edan seperti ‘Feral’ atau folk menggurita ala ‘Give Up The Ghost’ tidak lagi mengejutkan bagi saya. Bagi kebanyakan orang, mungkin pengalaman mendengar ‘Bloom’ bisa membuat anda merasa seperti bola ping pong yang ditabrakkan ke dinding. Namun saya tidak merasa begitu. Alasannya sederhana; saya telah mengikuti Radiohead dan berhenti melihat mereka dari satu kacamata, yaitu kacamata Radiohead sebagai band rock.

 

Mari ganti ke Muse. Saya, sebagai seorang penggemar Muse, luar biasa familier dengan bagaimana lagu-lagu baru Muse tak pernah luput dari keluhan penggemar yang merindukan sound awal mereka. Alternative Rock galau di Showbiz, rock dramatis ala Origin of Symmetry, dan percumbuan mereka dengan progressive metal di Absolution yang gahar. Nampaknya, menurut kebanyakan penggemar Muse, ketiga album tersebut adalah perwakilan terbaik mengenai siapa Muse sesungguhnya, mengenai sound Muse yang ‘baik dan benar’ sebelum akhirnya mereka ‘kehilangan arah’. Kulminasi dari krisis eksistensialis ini, rupanya, adalah Black Holes and Revelations yang eklektik, The Resistance yang bombastis namun tak konsisten, serta The 2nd Law. Album terbaru ini seperti Muse di tengah krisis identitas, terkoyak antara jalan lama dengan jalan baru. Masih ada musik rock cadas yang dianggap khas Muse seperti ‘Supremacy’, ‘Liquid State’, atau ‘Animals’. Namun kebanyakan lagu-lagu di album tersebut sangat tidak Muse. ‘Follow Me’ yang berat di elektronika. ‘Big Freeze’ yang terdengar seperti sesi jamming dengan U2. ‘Panic Station’ yang mendekati funk-rock sadis. Pop minimalis ‘Madness’. Percumbuan dubstep-classical ‘Unsustainable’. Bahkan nomor ‘Save Me’, ode alkoholisme yang dinyanyikan oleh sang bassis, Chris Wolstenholme, dianggap oleh salah satu pengguna forum Muse sebagai ‘shoegaze ala Muse’.

Dan benar saja. Animals dipuji sebagai ‘lagu hilang’ Origin of Symmetry, album rock bombastis nan gelap yang kerap dianggap sebagai album Muse terbaik. Supremacy disebut lebih pantas menjadi soundtrack James Bond daripada Adele. Dan Liquid State, meski menerima reaksi yang lebih beragam, tetap dipuji untuk riffnya yang beringas dan nge-rock. Ketiga lagu tersebut seolah menggambarkan Muse yang sesungguhnya. Lagu lainnya mendapat reaksi yang jauh lebih eklektik – beberapa memuji keberanian Muse untuk bereksperimentasi, beberapa menyayangkan ‘matinya Muse yang sesungguhnya’.

 

 

Melihat kedua fenomena tersebut, saya rasa tidaklah lancang bila saya menyebut bahwa kita telah jatuh ke lubang yang sama dengan sang Menteri Malaysia. Kita telah menyematkan identitas pada istilah.

Muse memiliki identitas sendiri. Radiohead memiliki identitasnya sendiri. Keduanya, secara garis besar, dianggap sebagai band rock. Dengan sound yang khas, penyanyi yang kharismatik, dan lagu-lagu yang pantas dikenang. Muse bukan hanya nama, bukan hanya istilah. Radiohead bukan hanya nama, bukan hanya istilah. Anda tidak bisa membayangkan Muse hanya sebagai empat huruf yang terpampang di komputer anda. Anda membayangkan Muse sebagai sebuah band dengan genre musik tertentu. Radiohead bukan hanya Radiohead sebagai sebuah nama atau istilah. Radiohead adalah sebuah band yang memainkan musik alternative rock yang agak eksperimental. Radiohead, Muse. Itu bukanlah nama. Itu adalah sebuah identitas tersendiri. Dan kita, sebagai penggemar kedua band tersebut, merasa kaget, terhina, bahkan nyaris marah, ketika identitas tersebut diruntuhkan.

Namun apakah peruntuhan itu hal yang buruk? Saya rasa tidak. Demi perkembangan sebuah band dan musisi untuk mencapai satu titik inovasi musik yang lebih baru dari biasanya, ekspektasi tersebut memang perlu dihilangkan. Bagaimana mungkin band A, yang terbiasa memainkan musik pop gaya B, berani berinovasi dan mengubah sound mereka, berkreasi dan memainkan musik blues, bila mereka takut pada reaksi penggemarnya? Berapa banyak band di arus utama yang lebih menitikberatkan kreativitas dan inovasi daripada reaksi penggemar dan fulus yang mengalir melalui penjualan album, konser, dan sebagainya? Reaksi yang, tentunya, lahir dari ekspektasi kita mengenai identitas para musisi tersebut? Kita terbiasa melihat Miley Cyrus, katakanlah, sebagai seorang bintang pop arus utama yang biasa-biasa saja. Kita mengharapkan musik seperti A dari Miley Cyrus. Tanpa sadar, ini telah menjadi batasan tak tertulis. ‘Jangan buat yang aneh-aneh, nanti citra anda sebagai seorang Miley Cyrus runtuh.’ Padahal mungkin, Miley tak sabar lagi untuk merilis proyek progressive death metal-nya.

Inilah paradoks kreativitas dalam musik. Kita bisa saja melihat sebuah band yang tidak mau melakukan hal yang baru dengan dua kacamata. Anda bisa menyebut band tersebut sebagai band yang tidak kreatif, atau anda bisa menyebut band tersebut sebagai band yang sadar akan asal usulnya dan ingin terus memuaskan basis penggemar dasarnya yang sudah terlanjur kepincut pada sound awal mereka. Anda bisa menyebut band yang selalu melakukan hal yang baru dengan dua kacamata pula. Anda bisa menyebut band tersebut sebagai band yang kreatif, atau anda bisa melihat band tersebut sebagai sebuah band yang telah mengkhianati akarnya. Namun sesungguhnya, cara melihat kita semestinya lebih luas daripada itu. Kedua kacamata tersebut tetaplah terlalu sempit. Salah satu contoh yang bagus mungkin adalah Laibach, dedengkot NSK (Neue Slowenische Kunst) asal Slovenia. Anda mengasosiasikan sebuah band dengan personilnya. Matthew Bellamy adalah ikon Muse. Thom Yorke adalah ikon Radiohead. Namun pada satu titik, ada dua band berbeda dengan anggota personil yang berbeda-beda pula yang melakukan tour keliling dunia pada saat bersamaan atas nama Laibach, dan keduanya adalah band resmi Laibach yang bernaung pada satu bendera. Bahkan Laibach, yang dengan art collective Neue Slowenische Kunst (New Slovenian Art)-nya lebih mementingkan identitas kolektif daripada individual, tak pernah menyebut nama anggota individual di album dan selalu mencap musik orisinil mereka sebagai ‘buatan bersama’, bukan dalam sistem komposer tetap atau individual seperti Matthew Bellamy di Muse atau Thom Yorke di Radiohead. Walau memang, penitikberatan pada identitas komunal dan diruntuhkannya kultus individual itu perdebatan lain yang akan menimbulkan jawaban yang lain pula, tetap saja patut diakui bahwa sistem disasosiasi identitas Laibach adalah gebrakan luar biasa dalam musik; dan gebrakan yang diperlukan.

 

 

Mungkin sudah waktunya kita berhenti melihat Radiohead dan Muse sebagai band rock. Pemikiran yang menyematkan identitas pada sebuah istilah adalah kesalahan yang umum dilakukan, dan merambat pula pada dunia musik. Saya teringat bagaimana kedua teman saya ini – bersama saya juga – tertawa terbahak-bahak karena kebodohan sang Menteri Malaysia yang menyematkan identitas gay pada istilah gay. Namun kini saya malah termenung. Apakah suatu hari nanti, saya akan melakukan hal yang sama pada musik? Akankah datang hari di mana saya akan menertawakan orang karena menyematkan identitas Radiohead pada istilah Radiohead, atau identitas Muse pada istilah Muse? Jawabannya sederhana.

Ya.

4 responses to “Paradoks Identitas ala Muse dan Radiohead

    • Oh, banyak memang. Terutama di musik. Girl Aloud, contohnya, girlband pop tapi membuat musik dengan intro terinspirasi blues di ‘Biology’. Mengubah konsepsi identitas ‘girlband pop’ itu.

      Pemilihan Radiohead dan Muse itu karena kedua band tersebut adalah kecintaan masa kecil saya pribadi, dan dari dulu reaksi fanbase-nya sudah saya ikuti. Jadi, perspektifnya lebih dalam 🙂

  1. Ngomongin paradoks gender ya, saya respek sama Tom Gabel yg milih jadi transgender (entah gimana Against Me kedepannya nanti). Gimanapun juga, tiap orang punya hak buat nentuin hidupnya, kan? 🙂

  2. paradoks identitas..,.. gue pernah denger ini beberapakali, tapi ga ngerti
    setelah baca tulisan ini, skrg ngerti
    😀
    thank you bro

Leave a reply to Raf Cancel reply