Maling Itu Sudah Tiada…

url

“Rest in peace. What an awful thing to say to a fighter.”

– Anonim

Saya bukan tipe orang yang mewajibkan diri memperingati kematian semua musisi.

Meninggalnya Lou Reed adalah ujian pertama saya dalam menghadapi kematian seorang musisi yang benar-benar saya cintai, dan seorang musisi yang memiliki makna pribadi sangat tinggi bagi saya. Respon saya tak banyak.Ketika Lou Reed meninggal, contohnya, saya hanya mengirimkan satu tweet. Saya rasa, bentuk duka seperti itu terlalu dangkal. Ekspresi laten yang terlalu mudah ditebak, terlalu bodoh, dan terlalu abad ke 21. Satu bagian dalam diri saya menghentikan saya dan mengingatkan saya bahwa ada cara-cara lain yang lebih berarti untuk memperingati makna musik mereka dalam hidup saya. Cara itu adalah mendengarkan musik mereka sampai telinga saya menjelang mampus.

Pagi ini, saya bangun dan mendengar kabar bahwa Junior Murvin telah tiada. Dia meninggal di ranjang rumah sakit di tanah kelahirannya, Jamaika, dalam usia 67 tahun. Diabetes akhirnya merenggut nyawanya. Dan sampai akhir, orang masih mengingatnya karena satu lagu: Police and Thieves.

Tahun 1976, Junior Murvin sedang bermain-main di studio milik Lee “Scratch” Perry, produser musik reggae legendaris, saat lagu tersebut terbentuk secara tiba-tiba. Sore itu juga, lagu tersebut direkam sebelum diperbaiki keesokan harinya. Lagu ini terbentuk dari spontanitas, namun liriknya berbicara tentang kemarahan yang sudah terpendam sejak lama. “Police and thieves in the streets, scaring the nation with their guns and ammunition…” Lirik distopia itu kontras dengan sound dub reggae khas Perry dan vokal falsetto Murvin yang terlalu mulus untuk jadi nyata. Dengan bassline dalam dan beat santai itu, Murvin telah membawa saya dalam perjalanan lunglai menuju kegilaan.

Saya tidak ingin berpanjang-panjang, atau terlalu menganalisa liriknya seperti biasa. Lou Reed, yang dikenal kerap bersikap ‘pedas’ kepada jurnalis, pernah mengkritik pedas seorang pewawancara yang menyebut bahwa suara vokalis latar di album barunya “terdengar seperti produk The Factory era 60’an.” “Maksudmu apa?” salak Reed kepada jurnalis tersebut. “Maksud saya,” gagap jurnalis tersebut, “Suaranya indah sekali.” Lou Reed menatapnya tajam. “Ya sudah, jangan bandingkan dengan The Factory.” Tukasnya. “Cukup bilang bahwa suaranya indah.” Junior Murvin, astaga. How could someone so beautiful sing about something so ugly?

Kita bisa bicara soal konteks sosio-politik di Inggris pada tahun 1977, ketika band punk legendaris The Clash memutuskan untuk merekam ulang lagu tersebut untuk albumnya. Kita bisa bicara soal sejarah Jamaika, dan bagaimana budaya Rastafara di situ mempengaruhi bagaimana reggae diciptakan. Kita bisa bicara soal semuanya. Malcolm X, Bob Marley, Komunisme, Seks bebas, ganja, The Upsetters, Margaret Thatcher, ganja, diktator, ganja, hooligan, punk, ganja, ganja, ganja. Tapi tidak. Kali ini, kita tidak akan bicara soal semua itu. Saya bahkan tak akan menjelaskan kenapa saya melanggar tradisi biasa dan merepotkan diri untuk menulis eulogi tentang penyanyi ini. Saya tidak tahu jawabannya. Sore ini, saya tolol.

Saya sedang dirundung kegalauan yang amat sangat, karena salah satu lagu favorit saya telah kehilangan penguasanya. Dan setiap kata yang dia nyanyikan masih nyata sampai sekarang. 4 orang meninggal dalam demonstrasi anti-pemerintah di Thailand. Presiden Yanukovych dituntut mundur oleh ratusan ribu orang yang memenuhi jalanan ibukota Ukraina, Kiev. Bashar Al-Assad terbukti mendalangi 126,000 kematian dalam perang saudara di Syria. Setiap kata yang dia katakan masih benar.

All the crimes committed day by day, no one try to stop it in any way

All the peacemakers turn war officers, hear what I say!”

Leave a comment